Thursday, November 12, 2009

Paskah di dunia yang lain…2001

Gemericik air sungai winongo, ditingkah suara jangkerik memecah kesunyian malam. Entah ini malam yang ke berapa aku berada di tempat ini..sudah berapa minggu, bulan, atau bahkan hampir tiga tahun aku menjalani hidup bersama orang-orang ini, masyarakat miskin perkotaan yang terpinggirkan oleh berbagai sistem peraturan karena ketidak mampuan untuk survive.
Lamat-lamat terdengar di kejauhan suara Aga yang rebutan sepeda dengan Denok, suara Deni yang asyik bermain kejar-kejaran dengan Joko dan Dika…ah anak-anak itu entah mau jadi apa mereka besok…aku tidak yakin mereka akan mampu sekolah sampai ke tingkat universitas, SMA pun masih terlalu mustahil untuk mereka. Apakah kemiskinan harus menjadi warisan turun temurun dari orang tua pada anak-anaknya….
Pikiranku melayang pada orang-orang ini, perjuangan hidup yang terus mereka lakukan untuk bertahan di roda kehidupan yang terus berputar. Pak Palal yang dengan gigih menegadahkan tangannya ngemis di perempatan kemudian malamnya bangun pukul 2 dini hari untuk mayeng mengais tumpukan sampah untuk biaya hidup dan sekolah anak-anaknya, sementara Bu Palal bekerja sebagai buruh cuci untuk tetangganya. Kadang aku kasihan dengan anak-anak mereka. Joko dan yanti sering diejek oleh teman-temannya “Bapakmu wis picak ngemis meneh”, Pak Palal memang buta sebelah matanya tetapi ia sayang sekali pada anak-anaknya. Untung Maryati anak tertua yang duduk di kelas enam SD bisa mengasuh adik-adiknya dengan baik. Aku senang dengan Mryati yang bisa mengerti keadaan orang tuanya tetapi tetap mempunyai harapan akan masa depan yang lebih baik “Mas, ada nggak ya beasiswa untuk aku pengin bisa sampai kuliah” oh seandainya saja kelak ada sarjana dari kawasan kumuh Pingit ini, pasti begitu membanggakan.
Aku pernah mengajak Maryati ikut lomba mengarang di Syantikara, alhamdulilah dia meraih juara dua, sayang uang hasil menang tidak ditabung tapi dibelikan kalung oleh ibunya. Yach pikiran mereka memang lain. Tapi kemarin Maryati kalah waktu ikut lomba bercerita, karena dia merasa malu dan minder bila bergaul dengan anak-anak strata atas yang tentu saja lebih mewah dan bagus pakaiannya..apa mau dikata…..waktu yang akan melatih keberanian dia dengan memberi banyak pengalaman…

R
asanya seperti dua dunia yang berbeda. Pertemuan dengan orang-orang Pingit dan ikut misa Paskah di Kotabaru. .Di Pingit aku ketemu dengan Pak Haryadi yang mereparasi sandal-sandal rusak dan setelah baik lalu malamnya dijual di trotoar Jl. Mangkubumi. Aku bertemu dengan bu Slamet yang jualan es teh dan gorengan di halaman rumah. Berapa sih pendapatannya sehari dengan jualan macam itu ? Paling sehari dapat Rp.2000. Aku juga bertemu dan omong-omong dengan mbah Nono yang jualan salak, dondong, gorengan di samping rumah gedhegnya si Botak. Paling-paling seluruh jualannya kalau dibeli semua seharga Rp.10.000. Atau, pertemuan-pertemuan lain dengan Pak Lan, Pak Palal, mbok Sainem, mbak Yah, Bu Giso, Yudi, Pak Gito. Aku hanya mendengarkan kisah hidup orang. Aku hanya melihat kerja keras dan ketekunan orang-orang itu mencari uang untuk hidup. Aku hanya melihat bagaimana mereka berelaksasi setelah seharian bekerja keras mayeng atau milihi kertas di lapak. Nonton TV, main kartu cina (tentu pake uang dong). Tidak ada suasana Paskah sama sekali ! Apa artinya pengalaman pertemuan dengan mereka itu ?

Kadang aku bingung dengan situasi mereka. Mungkin karena aku terjebak pada penyimpulan subyektif bahwa mereka itu menderita dan layak dibantu agar dapat mentas dari kemelaratan. Sedangkan kerangka kerja yang aku pikir dapat aku gunakan untuk membantu mereka rasanya tidak cukup. Menampung wong-wong kere itu di YSS ternyata tidak menyelesaikan masalah kemiskinan. Setelah mereka ditampung, berarti masalah perumahan bagi mereka terselesaikan, muncul masalah berikutnya. Gaya hidup santai, mentalitas ngemis, rasa tidak memiliki rumah yang dihuni (tidak membersihkan rumah dan halaman, tidak memperbaiki bagian rumah yang rusak, tidak menabung, dll), padu, mencuri. Anjuran menabung juga tidak mudah dilaksanakan. Mereka itu tidak selalu pegang uang setiap harinya.

Terokupasi oleh kisah-kisah perjuangan hidup yang kudengar, oleh tingkah-tingkah hidup yang mereka peragakan, oleh penyimpulan diriku sendiri, rasanya berat. Lalu, ketika aku masuk ke dalam liturgi Paskah, asing rasanya. Aku mencoba mengikuti dinamika rohani yang ada di dalamnya, ... yang kuperoleh sekedar mengingat-ingat saja makna masing-masing hari suci selama tiga hari itu. Sangatlah mendasar makna masing-masing hari itu, tetapi tusukannya tidak bisa menembus kehausanku untuk disentuh oleh Kristus. Aku mengalami kering. Mandeg di kepala. Ah, apalagi para pengunjung misa di Kotabaru adalah orang-orang dari kelompok menengah ke atas. Bersih, berpakaian mahal, tidak saling kenal. Rasanya aku berada di sebuah dunia yang sangat berbeda dengan Pingit.
Inilah wajah kemiskinan yang kutemui. Inilah wajah ketakberdayaan. Rumahnya seperti itu. 3x4 m milik mbak Jan. 2x3 m milik Pak Palal. Pekerjaannya berkisar sekitar : tukang becak, mayeng, jualan makanan kecil-kecilan, lapak, jaga parkir, sopir angkutan umum, ngemis. Kontras dengan Gendut yang naik mobil Lancer dengan handphone yang selalu di tangan. Jauh berbeda dengan Putu yang kerangka berpikirnya soal uang selalu menyangkut angka 6 digit. Amat sangat berbeda dengan sepasang anak muda yang makan minum di Holland Bakerey kemarin siang : bermobil Honda Civic dengan ban dan pelek racing. Mengapa orang-orang Pingit miskin ? Jawabannya jelas. Pemerintah Indonesia (pegawai negeri, birokrat) terlalu banyak melakukan korupsi. Sistem pendidikan di Indonesia tidak membuat anak-anak muda Indonesia menjadi pandai dan kreatif tetapi justru mogol.

Inilah sebuah contoh lingkungan yang melanggengkan kekerasan, tidak dihargainya wanita sebagai pribadi manusia utuh, judi, omong kasar, mabuk, maling, lonthe. Wajah-wajah realitas hidup manusia yang bermasyarakat semacam itu rasanya sangat sulit diperbaiki karena orang-orang yang mestinya bertugas termasuk menjadi pelaku aktif. Kesulitan juga disebabkan karena kejujuran, kebertanggungjawaban, kepedulian pada orang lain ditertawakan dan tidak dijunjung tinggi. Tetapi toh ada sisi menariknya juga. Mereka kumpul rutin setiap malam Jumat Kliwon untuk membicarakan kebersamaan mereka. Masalah kebersihan. Iuran serkileran Rp.100 per malam. Uang yang terkumpul dipakai untuk membantu warga yang sakit dan mati, untuk memperbaiki cakruk ronda.

Aku tertarik dengan keuletan mereka mempertahankan hidup, mencari uang, memanfaatkan barang-barang yang ala kadarnya. Aku jadi semakin tahu betapa besar arti uang dan rumah. Betapa ayemnya kalau dua hal itu sudah di tangan. Aku tertarik dengan ketekunan Pak Lan menabung sedikit demi sedikit sehingga akhirnya bisa membeli tanah dan rumah sendiri. Pak Gito juga melakukan hal yang sama. Satu hari satu potong gedheg seharga Rp.750 dan akhirnya rumah mlompong itu bisa tertutup semua.

Aaahhh, aku tertarik pada Fitri. Anak kecil umur 4 tahun, cewek, rambut merah potong pendek, ndak bisa boso. “Umee !” begitu dia memanggilku. Dia makan donat yang disuguhkan orang tuanya untukku. Akan jadi apa anak ini nanti kalau sudah besar. Aku terpanggil untuk membantu orang tuanya menyiapkan Fitri memasuki masa depannya.

Bagaimana kebangkitan Kristus yang memberdayakan, memberi kekuatan hidup, me-tune-up mesin manusia yang sudah mati agar bisa digeber lagi mempunyai pengaruh pada orang-orang lapis bawah ini ? Bagaimana caranya agar mereka itu juga bisa mengalami disegarkan kembali oleh kebangkitan Kristus seperti halnya Maria Magdalena saat menjenguk kubur Yesus ? Yah ! Bukankah orang macam Pak Lan itu merupakan contoh sukses yang dapat dijadikan titik harapan di masa depan bagi orang-orang macam mas Yudi, Pak Sur ? Dulu Pak Lan mayeng dari satu bak sampah ke bak sampah yang lain, lalu menjual hasil mayengannya ke lapak. Sekarang dia yang jadi lapak dan membeli hasil masyengan orang lain. Bukankah semangat kebangkitan Paskah telah ditunjukkan oleh Pak Gito yang dari alun-alun Utara tak berumah lalu pelan-pelan dengan ketekunan dan berprihatin akhirnya bisa punya tanah dan rumah sendiri ? Bukankah mbak Yah juga menunjukkan hal yang sama : dari mengolah lahan daerah transmigrasi, ditinggalkan suaminya, lalu berjuang sendirian menghidupi 3 anaknya dengan cara nambal ban, mencuci bis malam, dan akhirnya sekarang agak mapan dan diperistri oleh seorang suami yang bertanggung jawab ?

Ada titik cerah di masa depan bagi orang-orang lapis bawah ini. Memang, titik cerah ini kadang disapu atau ditutupi oleh awan gelap yang membuat loyo semangat perjuangan mereka. Tetapi, kalau mereka mau tekun, mau dibantu, mau prihatin, tidak mustahil titik cerah itu bisa mereka raih. Kalau mau !

Met paskah semua……

No comments: