Hari ini aku mengalami peristiwa-peristiwa yang menyentuh hati.
Siang harinya, seorang teman mengajak aku mengantar dokumen ke rumah bos-nya di bilangan kelapa gading jakarta utara. Sesampai di sana aku tercengang melihatt rumah-rumah megah seperti yang aku lihat di kanan kiri jalan daerah menteng ketika aku berangkat kerja. Gila megah sekali, batinku. Pantas di pintu depan sudah langsung di portal dan di jaga satpam, jika tidak kenal alamat harus meninggalkan kartu identitas dan ada kemungkinan tidak bisa masuk. Hampir di tiap rumah juga masih di jaga security. Taman bermain yang hijau terletak di tengah perumahan dan nampak asri untuk beristirahat atau bermain bersama keluarga. “kompleks seperti ini ada beberapa di sini” bisik temanku. “banjir nggak sih di sini?”tanyaku ingin tahu “jakarta utara apalagi kelapa gading kan terkenal daerah banjir”. “Kelapa gading depan emang banjir, tapi perumahan sini mana bisa terendam air” terang temanku meyakinkan. Aku mengangguk-anggukan kepalaku karena kupikir benar juga yang dia bilang. Drainase yang tertata rapi, taman dimana-mana, rumah yang menjulang tinggi dan lokasi yang lebih tinggi dari jalan. Nampaknya mustahil perumahan ini akan banjir. ”lagi pula di tiap rumah sudah pada punya penyedot air kalau banjir” terang temanku lagi. Patilah dengan kemampuan mereka saat ini, membeli penyedot air tentu hanyalah uang receh saja dibandingkan isi kantong mereka. Aku lihat lagi berkeliling, mobil banyak diparkir cenderung tidak teratur, dan tiap rumah rata-rata mempunyai lebih dari satu mobil bagus. ” ah biarlah nasib mereka memang bagus dan tentu saja karena usaha keras dan tekun dalam jangka waktu lama” pikirku menenagkan hati yang mulai merasa iri…
Sepulang dari makan siang sesudah mengantar dokumen, aku diantar pulang oleh temanku. Berbenah sebentar aku siap-siap berangkat ke gereja untuk misa hari minggu di gereja rawamangun – hari sabtu kemarin aku mau berangkat tapi kuurungkan karena hujan lebat. Kupacu sepeda motorku ke gereja karena waktu nya sudah semakin mepet…
Sepulang misa, aku bergegas untuk pulang karena sebentar lagi ada siaran langsung final liga indonesia di televisi. Entah kenapa beberapa waktu ini aku senang menonton pertandingan sepak bola indonesia lengkap dengan perkelahian dan kericuhannya. Tidak peduli walau beberapa teman bilang bahwa sepak bola indonesia tidak ada mutunya dan tidak layak untuk ditonton. Hmm mungkin rasa nasionalisme atau tertarik pada hal baru, aku juga tak mengerti hanya sekedar menikmati…
Bisanya aku pulang lewat jalan rawamangun, tapi kali ini aku putuskan pulang lewat jalan pemuda karena lebih lancar dan aku bisa ngebut pikirku. Mendekati perempata jalan pemuda yang ke arah pramuka, sudut mataku menangkap ada semburat merah di sebelah barat, arah cempaka putih. Sekilas aku berpikir oh ini semburat langit merah saga di sore hari, tapi ini terlalu merah, dan diselimuti pula oleh asap hitam. Ini bukan pemandangan langit biasa. Lalu di kejauhan kulihat banyak orang berkerumun. Pasti ada sesuatu yang terjadi…lalu kubelokkan motoku ke kanan lebih dekat lagi ke arah kerumunan orang..
Ada banyak sekali orang yang berkumpul, ada banyak polisi membawa tameng dan helm persis seperti pengamanan ketika aku demo dulu atau yang kulihat di televisi saat kerusuhan suporter sepakbola. Di sudut lain kulihat puluhan orang berseragam biru-biru, oh ini tatib atau banpol pikirku. Lalu kulihat jauh di seberang sana puluhan penduduk yang berlarian membawa barang-barang sambil mendorong gerobak, becak atau membaw amobil angkutan bak terbuka yang penuh dengan barang-barang.otakku bekerja merangkai kejadian semua ini: PENGGUSURAN. Hal yang sering terjadi di kawasan jakarta utara dan mungkin juga di lingkungan-lingkungan kumuh di tempat lain. Warna merah tadi adalah api yang diselimuti dengan asap hitam dari kebakaran yang terjadi. Api menyala sangat besar. Memanaskan udara yang seharusnya dingin sore ini karena hujan yang sering terjadi. Atau udara memang sudah panas karena kemarahan orang-orang yang tergusur ini? Kulihat mesin besar beko yang bergerak perlahan tapi pasti mendorong dan merobohkan rumah-rumah kumuh itu. Aku bergerak mendekat, sayup-sayup telingaku mendengar jerit tangis anak-anak yang ketakutan, kemudian suara umpatan dan cacian marah perempuan di pinggir jalan yang tergusur. Sementara beko itu bagai tak bertelinga meluluhlantakkan segalanya. ”ini sudah sejak siang tadi bang” jelas orang yang kutanyai di pinggir jalan. ”tak tahu harus kemana kami malam ini, apalagi hujan masih terus turun” terang orang lain yang berjongkok dengan pandangan nanar melihat pada keributan itu. Aku tak tahu siapa yang membakar dan menciptakan api sebesar ini,apakah untuk menghentikan petugas, atau untuk mengusir mereka? Aku tak tahu. Sama seperti aku tak tahu dengan apa yang akan dilakukan orang-orang yang terusir ini ketika malam semakin dingin dan hujan mulai turun nanti, sedang atap tempat berlindung mereka telah lenyap…
Ketika aku memandang berkeliling, kulihat ada beberapa wartawan, lalu ada mobil penyiaran dari metrotv, dan sctv. Ada banyak juga orang-orang yang melihat dari pinggi jalan atau dari atas jembatan. Entah apa yang mereka pikirkan, apakah ini suatu tontonan yang jarang mereka lihat dari dekat, ataukah mereka ingin membantu tapi tak tahu apa yang harus dilakukan…
Tidak akan pernah selesai dan hanya akan berputar-putar saja ketika kita membicarakan siapa yang bersalah dalam kasus ini? Warga miskin yang tinggal di lokasi milik pemerintah yang seharusnya tidak dijadikan perumahan, yang juga menjadi salah satu penyebab banjir, yang tidak mau di pindah karena tempat itu dekat dengan lokasi pekerjaannya… Atau pemerintah yang tidak tanggap dengan akar permasalahan yang ada, yang mau cepat saja dan dengan tangan besi menyelesaikan masalah ini tanpa mau mempelajari bagaimana menyelesaikannya dengan pendekatan yang humanis.
Aku juga tak tahu solusi apa yang terbaik dan harus dilakukan saat ini, apa yang bisa aku lakukan juga ketika aku merasa diriku sebagai seorang intelektual yang harusnya mampu menyumbang ide-ide kreatif demi kebaikan masyarakat. Tapi menghadapi realita yang ada sekarang, aku cuman bisa merasa marah, merasa sedih, bahkan hanya menonton tanpa sedikitpun memberikan bantuan pada mereka yang membutuhkan. Aku mendesah berkata dalm hati ”Tuhan, jika kau ada saat ini, apa yang akan Engkau lakukan sekarang?..”
Lalu ingatanku terbawa pada rumah-rumah besar dan megah yang kulihat siang tadi di lokasi yang tidak terlalu jauh. Rumah yang kelihatan anggun, megah, dan tentu saj akan memberikan kedamaian dan kenyamanan pada pemilik ataupun yang tinggal di dalamnya. Apakah karena orang-orang kaya itu berusaha dengan keras dan tekun, sedangkan orang-orang miskin ini tidak? Apakah kaum miskin ini tidak bekerja keras ketika setiap pagi mereka bangun lebih dulu sebelum kita untuk mengais-ngais sampah, atau di terik matahari saat kita berkeja di ruang ber ac mereka menarik bajaj mencari penumpang. Atau karena mereka tidak tahu bagaimana menjadi kaya? Atau karena ini masalah nasib saja? Ada orang-orang yang bernasib baik dan ditakdirkan untuk kaya, sedangkan ada banyak orang lain yang harus bernasib buruk dan menjadi miskin selamanya..kalau begitu siapa yang bertanggung jawab pada nasib baik atau nasib buruk? Kita sendiri kah? Masyarakat? Pemerintah? Atau Tuhan…
Ah, tiba-tiba saja acara final sepak bola itu tak lagi menarik minatku…
dimana malam nanti orang sebanyak itu akan berteduh? Anak-anak yang kedinginan dan menangis kelaparan..
Tuhan, semoga engkau tidak tidur…
No comments:
Post a Comment