Tadi malam saya melihat tayangan televisi aljazeera “children of conflict” mengisahkan tentang peperangan di Sudan dan bagaimana itu membawa pengaruh bagi anak-anak dan remaja belasan tahun di sana. Seorang anak laki-laki yang berumur 14 tahun bercerita tentang pengalamannya selama perang. ”Saya dan teman-teman melihat banyak pembunuhan yang terjadi. Teman, tetangga, atau keluarga yang ditembak atau dibunuh di depan mata kami. Ketika akhirnya kami ikut terlibat dalam pertempuran dan masuk menjadi milisi, membunuh adalah hal yang biasa dan harus kami lakukan untuk mempertahankan hidup kami. Saya akhirnya menjadi biasa membunuh dan perasaan saya biasa saja. Jika saya membunuh seseorang, itu karena dia adalah musuh saya. Dia pasti juga akan membunuh saya kelau ia melihat saya terlebih dahulu. I just trying to keep my life and they do the same” Anak-anak itu dipaksa untuk tercerabut dari kehidupan mereka selama ini dan masuk ke kehidupan lain yang belum pernah mereka bayangkan. “Kami hidup damai sebelum orang-orang itu datang, dan kedamaian menjadi hilang ketika mereka mulai menembaki kami” kata seorang Ibu dalam wawancara yang lain.
Ketika peperangan meluas dan berlangsung lama, anak-anak terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah mereka untuk menjadi milisi dan turut berperang. Kekejaman meningkat dengan cepat, pembunuhan dan pemerkosaan menjadi hal yang lumrah ditemukan di sana. Seorang pendidik menceritakan ”Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana anak-anak itu berubah menjadi orang-orang yang mengerikan. Saya tidak tahu lagi apakah ini mempertahankan diri, balas dendam, atau kepuasan. Mereka harus segerakembali ke sekolah karena itu penting untuk masa depan mereka. Jika tidak, maka pembunuhan dan pemerkosaan akan terus terjadi.”
Kita sering melihat bagaimana membunuh terkait dengan banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Terkadang benang merahnya menjadi sangat kusut untuk diurai ataupun dianalisa sebab dan akibatnya. Satu hal yang menjadi keprihatinan kita bersama adalah kenyataan ada anak-anak yang seharusnya mengenyam kehidupan dan proses belajar mereka secara menyenangkan, akan tetapi dipaksa untuk mengenal tindakan-tindakan ataupun dunia baru yang akan dapat menghancurkan karakter dan masa depan mereka.
Mungkin keprihatinan ini tidak akan terlalu dalam kita hidupi jika selama ini lingkungan tempat hidup kita adalah sebuah lingkungan yang nyaman dengan situasi dan kondisi yang kondusif dan kekerasan seakan adalah sebuah cerita dalam dongeng-dongeng mengerikan atau suatu mimpi buruk yang tidak nyata. But it was a real condition on some parts of the world dan ini masih terus berlangsung sampai saat ini. Rantai kekerasan yang seakan tak terputuskan dan menjadi persoalan yang tak pernah terselesaikan, baik oleh nilai-nilai agama, maupun nilai-nilai moral dan social dari manapun.
Menarik melihat bagaimana seorang pendidik di sudan itu meyakini pendidikan sebagai sebuah alternative solusi untuk memutuskan rantai kekerasan yang terjadi. Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah pendidikan yang seperti apa yang bisa diharapkan menjadi basic karakter seorang anak untuk tidak menjadi begitu saja hanyut dalam aliran kekerasan yang terjadi di sekitarnya. Seberapa efektif pendidikan budi pekerti, cinta kasih, tolong menolong, berlaku adil menjadi tonggak landasan yang kuat bagi seorang anak untuk berkata tidak terhadap kekerasan jika ia dibenturkan pada sebuah kenyataan hidup yang sangat keras dan belum pernah ia bayangkan sebelumnya akan terjadi. Trauma-trauma yang terjadi dan membekas dalam pikirannya, apakah bisa untuk dikalahkan ataupun diredam oleh nilai-nilai kemanusiaan yang ditanamkan.
Mahatma Gandhi boleh saja berhasil dalam perjuangannya dengan salah satu nilai anti kekerasan (Ahimsa) yang dimilikinya. Tanpa bermaksud untuk mengecilkan kenyataan dan pergumulan yang dihadapinya saat itu ketika berpegang teguh pada nilai-nilai anti kekerasan yang diyakininya, Gandhi adalah sosok matang yang rasanya terlalu jauh untuk dibandingkan dengan anak-anak kecil atau remaja belasan tahun dalam hal kedewasaan dan keteguhan dalam menentukan sebuah pilihan.
Well, tulisan ini dibuat bukan untuk menentuka hitam atau putihnya sebuah keyakinan atau akan mengerucut pada sebuah kesimpulan baku yang bisa dijadikan sebagai acuan karena kebenaran adalah sebuah hal yang bisa ditelaah dalam bermacam makna. Akan tetapi, ketika anak-anak kecil kita atau para remaja belasan itu masih terlalu rapuh untuk memegang sebuah nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kebaikan dalam hidupnya, ketika mereka masih akan sangat mungkin untuk terhanyut dalam lingkaran kekerasan jika memiliki trauma-trauma atau jika melihat dan dibenturkan pada kenyataan-kenyataan kekerasan yang terjadi di depan mata mereka maka adalah menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai orang-orang dewasa, yang notabene (suka atau tidak) sebenarnya memepunyai kedewasaan dan kemampuan lebih untuk menentukan pilihan dan memilih nilai atau arah yang akan diikuti jika dibenturkan pada pilihan serupa, untuk memberikan guidance dan koridor-koridor bagi anak-anak di sekitar kita untuk menentukan pilihan terbaik bagi hidup dan masa depan mereka dengan tidak mengambil pilihan kekerasan.
Lebih jauh lagi menjadi tanggung jawab bagi semua orang di belahan dunia manapun untuk tidak meciptakan situasi-situasi dimana kekerasan menjadi alternative solusi (yang berdasarkan pengalaman selama ini tidak pernah menjadi sebuah pilihan terbaik). Kekerasan sebagai sebuah pilihan seharusnya ditempatkan pada deretan paling akhir dan sedikit-demi sedikit dihilangkan dari daftar pilihan yang akan kita ambil untuk memecahkan permasalahan
Saya teringat akan kalimat dalam sebuah film a few good men di bagian akhir, “We should fight for them who can not fight for themselves”. Tentu saja saya tidak akan mengartikan fight di sini sebagai berkelahi atau bertempur atau berperang akan tetapi lebih pada konteks bagaimana kita sebagai orang-orang yang memiliki kapabilitas dan kesempatan lebih berusaha untuk menjaga dan menciptakan sebuah harmoni dalam kehidupan damai untuk semua orang termasuk mereka yang belum mampu menciptakan sebuah pilihan…
No comments:
Post a Comment